Negara Tidak Boleh Tawar Menawar Tentang Ideologi

Negara Tidak Boleh Tawar Menawar Tentang Ideologi

Spread the love

Jakarta – Bak rumah agar kokoh bangunannya, dibutuhkan dasar atau pondasi yang kuat dan terukur, sehingga ketika ada angin puting beliung bahkan banjir bandang bangunan tetap berdiri. Maka Pondasi menjadi sesuatu yang sangat vital di dalam sebuah bangunan. Sedangkan kata pondasi sendiri berasal dari kata foundation, dalam bahasa keseharian masyarakat Indonesia pada umumnya menggunakan kata fondasi atau lebih sering disebut pondasi.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:414) yang menyatakan bahwa pondasi merupakan dasar bangunan yang kuat dan biasanya terletak di bawah permukaan tanah tempat bangunan didirikan.

Mengingat begitu penting pondasi maka perlu mendapat perhatian yang khusus serta perawatan dan penjagaan agar pondasi tetap kokoh dan kuat. Dasar Negara bisa juga disebut ideology yang artinya gagasan yang disusun secara sistematis dan diyakini kebenarannya untuk diwujudkan dalam kehidupan.

Demikian juga sebuah Negara sebagai rumah bersama pondasi sangat dibutuhkan sehingga Negara tetap kokoh dan tak goyah dengan situasi dan kondisi apapun. Apalagi ketika bicara Indonesia sebuah negara yang sangat beragam baik ditinjau dari suku, agama, etnis dan budaya yang secara akal manusia sulit untuk mewujud menjadi sebuah Negara yang kini disebut Indonesia.

Perlu diingat kembali bahwa terbentuknya Indonesia karena ada kesepakatan bersama, di mana para faunding father kita meletakan kepentingan yang lebih besar dengan menyampingkan kepentingan diri dan kelompoknya, sehingga sekalipun dari kelompok besar mereka menanggalkan egonya demi terbentuknya Negara yang kuat dan menampung semua kelompok yang memang ada di nusantara.

Para tokoh bangsa yang demi terwujudnya sebuah Negara yang kemudian diberi nama Indonesia antaranya ada Tiga Tokoh Kunci Penghapusan “Tujuh Kata” Piagam Jakarta: Moh. Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kasman Singodimedjo. Karena dengan dicantumnya tiga tujuh kata inilah yang menyebabkan para tokoh dari Indonesia Timur tidak akan bergabung kalau tujuh kata itu tetap dicantumkan.

Tentu pergulatan bathinpun juga dirasakan termasuk dengan Pendiri Nahdlatul Ulama, KH M Hasyim Asya’ari ternyata melakukan proses berpikir dan berserah diri sebelum mengambil sikap terkait penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah bertahajud, dia pun akhirnya setuju. Satu alasannya yaitu demi persatuan bangsa. Seperti yang diungkapkan mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj, ketika menjadi pembicara di kegiatan seminar yang diselenggarakan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) beberapa tahun yang lalu.

Berkenaan dengan dasar Negara atau ideology, dikutip dari Jalan Menuju Kemerdekaan: Sejarah Perumusan Pancasila (2018), diceritakan Soekarno adalah tokoh terakhir yang menyampaikan pemikirannya dalam sidang pertama BPUPKI.

Soekarno menolak keinginan golongan Islam untuk menjadikan Indonesia negara Islam yang berdasar pada syariat Islam. “Saya pun orang Islam. Tetapi, saya minta maaf kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah paham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaam…” kata Soekarno dalam pidatonya.

Rorongan Ideologi

Dalam perjalan bangsa ternyata Idelologi atau dasar Negara mengalami beberapa kali ancaman baik ideology keagamaan maupun komunis seperti pemberontakan Madiun 1945, DII/TNII, PERMESTA/PRRI, OPM, GAM dan lain sebagainya, yang disampaikan peneliti LIPI Asvi Warman Adam.

Adanya ancaman terhadap ideology bangsa saat ini lebih pada ancaman non fisik yang paling berbahaya yaitu ancaman terhadap “Mindset” Bangsa Indonesia yang berupaya untuk merubah ideologi negara Pancasila sebagai pemersatu bangsa.

Ancaman mindset ini bersifat masif, sistematis dan terstruktur yang terus berupaya untuk mempengaruhi dan merusak “mindset” atau pemikiran dan jati diri bangsa Indonesia melalui pengaruh ideologi-ideologi asing yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia.

Malah belakangan ini pertarungan tentang ideology bangsa makin terang benderang dengan adanya kelompok tertentu yang gencar menawarkan ideology Khilafah. Tak malu-malu lagi mereka gencar bukan saja kepada pengikutnya tetapi sudah menawarkan kepada Negara.

Mereka yang mengusung ideology Khilafah berargumentasi untuk lebih sejahtera dan damai dan damai. Menjadi pertanyaan besarnya benarkah sistem Khilafah bisa menyelesaikan persoalan. Sementara Negara yang mengusung tersebut justru sebaliknya misalnya saja Afganistan bagaimana kondisi Negara hingga kini. Justru banyak pelanggaran hak asasi dan kebebasan terutama menimpa kaum wanita.

Belum lagi dalam konteks Indonesia yang beragam sejarah sudah terbukti ketika para faunding father mau mengesahkan dasar negera Pancasila yang masih ada 7 kata atau piagam Jakarta, beberapa tokoh dari Indonsia Timur seperti Latuharhary, Sam Ratulangi meminta kalau tujuh kata dicantumkan Indonesia bagian Timur akan memisahkan diri.

Gus Dur presiden ke 4 juga menolak tegas akan adanya penerapan Khilafah mengatakan bahwa alasan adanya Indonesia adalah karena keberagaman, karena kalau tidak ada keberagaman, Indonesia tidak perlu ada. Sumber: mediaindonesia.com/humaniora/339747/putri-gus-dur-tegaskan-khilafah-tidak-sesuai-dengan-indonesia.

Pancasila sebagai ideology bangsa sudah melalui proses panjang dan kita peringanti 1 Juni. Dengan ditetapkannya sebagai dasar Negara seharusnya tak ada satupun yang mencoba merorongnya. Dalam hal ini posisi Negara sangat penting untuk keberlangsungan Indonesia dengan dasarnya Pancasila, segala hal yang mencoba mengganti harusnya ditindak tegas, seperti ketegasan egara dalam menindak Komunis. Tanpa ragu membuat ketetapan yang dituangkan dalam TAP MPR No XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran partai komunis Indonsia sebagai organisasi terlarang.
Demikian pula ketegasan juga dibutuhkan untuk siapapun yang mau mencoba ideology Negara baik yang agama, liberal mau apapun, semata demi tegaknya Pancasila yang sudah teruji untuk mewadahi keberagaman sebagai bangsa Indonesia.

Oleh Yusuf Mujiono
Ketua Umum Pewarna Indonesia/Ceo Majalah Gaharu Group

error: Content is protected !!