Jakarta,klikberita.net || Klise mungkin saja menjadi kata yang tepat untuk merefleksikan arti kemerdekaan kita. Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 78 tahun silam. Proklamasi itu menjadi batu penjuru untuk membangun Gedung Indonesia Sempurna. Sukarno, dalam Di Bawah Bendera Revolusi, membayangkan gedung itu sebagai tempat bernaungnya rakyat jelata, tanpa kesengsaraan, dan tanpa jurang kesenjangan. Namun, realitas sosial kita hari-hari ini justru bercerita lain: rakyat jelata terabaikan, kemiskinan terlihat biasa, sementara orang-orang kaya bangga memamerkan harta. Jika melihat kenyataan ini, pertanyaan klisenya adalah: apakah kita sudah benar-benar merdeka?
Tentu saja, kita mudah menjawab pertanyaan di atas. Jawabannya, “Ya, kita sudah merdeka! Para kompeni sudah tidak berkeliaran di bumi nusantara. Artinya, kita sudah berdaulat sebagai bangsa, bukan?” Namun, apakah hakikat kemerdekaan hanya sebatas berakhirnya masa penjajahan Belanda?
Sukarno membacakan amanatnya pada peringatan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1955. Dia mengatakan, “…kemerdekaan bukanlah garansi buat kemakmuran-kesejahteraan, melainkan sekadar satu jembatan, satu hal yang memberikan kemungkinan kita berusaha leluasa menyusun kemakmuran dan kesejahteraan.” Rupanya, Sukarno memahami kemerdekaan sebagai sebuah fase persinggahan, bukan kesudahan dari tujuan. Sasaran utama kemerdekaan adalah melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan segenap bangsa. Kemerdekaan bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan syarat atau jembatan menuju kemakmuran. Oleh karena itulah, jika kemiskinan dan kemelaratan masih menjadi pemandangan biasa bagi kita, bukankah itu artinya cita-cita kemerdekaan sedang kandas di tengah jalan?
Lalu, bagaimana Partisipasi Kristen Indonesia (PARKINDO) menyikapi keadaan ini?
Kemerdekaan merupakan salah satu konsep penting dalam kekristenan. Antropologi Kristen meyakini dosa telah mencemari natur manusia (Rm. 3:23). Ekspresi dosa ialah ia menguasai manusia sehingga kejahatan menjadi karakteristiknya (Rm. 3:10–18). Dosa pun akhirnya membuat manusia selalu memilih untuk menjauhi Allah. Ketika manusia terpisah dari Allah, teologi Kristen menyebut kondisi tersebut sebagai maut. “Sebab upah dosa ialah maut,” kata Paulus (Rm. 6:23). Pada intinya, sifat dosa adalah menjajah karena memberangus kebebasan manusia untuk menjalani kehidupan selaras dengan fitrahnya. Namun, penjajahan dosa berakhir ketika Anak Domba Allah, yaitu Yesus Kristus, menyerahkan dirinya sebagai kurban untuk mendamaikan manusia dengan Allah (1Yoh. 2:2). Manusia menjadi bebas dan merdeka dari perhambaan dosa dan mampu hidup dalam kebenaran (1Ptr. 2:24). Oleh karena itulah, Paulus mengatakan, “…di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan,” (2Kor. 3:17b).
Kemudian, timbullah pertanyaan, “Apa tujuan Allah memerdekakan manusia dari dosa?” Manusia memperoleh kemerdekaan atas dosa agar bisa kembali pada fitrahnya, yakni melayani orang lain dengan kasih (Gal. 5:3b). Seseorang otomatis melayani Allah ketika dia melayani sesamanya (Mat. 25:40). Jadi, Alkitab mengajarkan bahwa kemerdekaan bukanlah status belaka. Orientasi hidup untuk memajukan manusia menjadi identitas setiap orang yang telah dimerdekakan dari dosa. Dengan kata lain, melayani sesama adalah konsekuensi dari kemerdekaan. Ciri seseorang yang telah menerima anugerah kemerdekaan dari dosa adalah dia akan melayani Allah dengan cara melayani sesama dengan kasih.
Pandangan kekristenan di atas membawa kita pada prinsip ganda kemerdekaan, yaitu freedom from (bebas dari) dan freedom for (bebas untuk). Prinsip pertama menunjukkan anugerah kemerdekaan membebaskan manusia dari pembelenggu, yaitu dosa, yang merusak citra dan identitas dirinya. Sementara itu, prinsip kedua mengindikasikan bahwa anugerah kemerdekaan atas dosa memiliki tujuan pada dirinya sendiri, yaitu untuk mengasihi Allah dengan cara melayani sesama. Setelah manusia dibebaskan dari penjajahan dosa, kemerdekaan bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi dipakai untuk melayani sesama. Prinsip ganda inilah yang menjadi jiwa dari karya pembebasan Yesus Kristus atas dosa manusia.
Jika membandingkan pandangan Kristen dan Sukarno tentang kemerdekaan, kita mendapati keduanya memiliki kesamaan. Kekristenan dan Sukarno sama-sama melihat kemerdekaan bukanlah tujuan akhir. Kemerdekaan hanyalah gerbang untuk mengantarkan kita pada tugas selanjutnya. Pemikiran Kristen dan gagasan Sukarno tentang kemerdekaan juga sama-sama menempatkan sesama sebagai fokus tujuan. Kekristenan meyakini kemerdekaan harus dimanfaatkan untuk melayani sesama, sementara Sukarno mengamanatkan kemerdekaan sebagai jembatan untuk mengentaskan kemiskinan dan kesengsaraan rakyat. Dengan kata lain, kekristenan dan Sukarno meyakini bahwa memperoleh kemerdekaan adalah penting, namun mengisi atau mempertanggungjawabkannya justru jauh lebih berharga.
Dalam konteks Indonesia hari ini, kita melihat terdapat banyak bidang-bidang kehidupan dalam masyarakat yang bisa dijadikan sebagai area untuk mempertanggungjawabkan kemerdekaan itu.
Akhir-akhir ini, kita melihat—mungkin secara samar—kebebasan berbicara menjadi sesuatu yang dipersoalkan. Pejabat pemerintah tersinggung hanya karena dipanggil “Lord” dan menjadikan ruang pengadilan sebagai tempatnya bersungut-sungut. Kemudian, kritik keras—mungkin juga kasar—pada jabatan Presiden ditanggapi dengan sentimen, bukan beradu data dan argumen. Di Prancis, kepala kaisar bisa dipenggal, sementara di sini, keluhan bisik-bisik saja terancam dipolisikan. Fenomena “nyeleneh” seperti ini seolah ingin mengatakan, “Semua kritik terhadap rezim harus berakhir pada catatan-catatan Berita Acara Pemeriksaan.” Hingga akhirnya, kita menjadi maklum jika banyak lembaga survei menempatkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Buruknya mutu demokrasi kita, bisa jadi, diakibatkan oleh rendahnya kualitas pendidikan. Sejarah demokrasi memberitahukan bahwa ia lahir untuk meredakan ketegangan yang ditarik oleh berbagai kepentingan. Itulah sebabnya, kegiatan utama demokrasi adalah menimbang fakta dan menganalisis data agar kepentingan semua orang terakomodasi secara proporsional. Oleh karena itulah, instrumen utama agar demokrasi berjalan lancar adalah kesehatan pikiran sehingga akal mampu menarik kesimpulan dengan lurus dan benar. Kita mengenal gimnasium untuk melatih pikiran adalah pendidikan. Kian maju pendidikan di sebuah bangsa, maka semakin berkembang pula mutu demokrasinya.
Akan tetapi, imajinasi kita untuk memajukan pendidikan demi mendongkrak bobot demokrasi tampaknya akan berujung buntu. Lihatlah betapa mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Setiap calon mahasiswa, misalnya, mesti merogoh kocek jutaan, bahkan puluhan juta rupiah, demi selembar ijazah sarjana. Sebuah laporan dari Project Multatuli bertajuk, Pontang-panting Hidup Mahasiswa Bayar UKT (15/08/2023), menceritakan kisah mahasiswa yang terpaksa bekerja untuk menutupi biaya kuliahnya. Alih-alih menggunakan waktunya untuk belajar dan melakukan riset, si mahasiswa menggunakan 15 jam waktunya sebagai pengemudi ojek online, kurir, dan admin toko online. Mengacu pada komposisi penggunaan waktunya, si mahasiswa bukan lagi kuliah sambil bekerja, melainkan bekerja sambil kuliah.
Mahalnya biaya pendidikan kemudian diperparah oleh kemiskinan yang hingga hari ini belum menunjukkan tanda-tanda senja kala. Rasa-rasanya, kita sudah kehabisan kata untuk membicarakan betapa abadinya kemiskinan di negeri ini. Musim bisa berubah, presiden pun berganti-ganti, tetapi entah kenapa, kemiskinan selalu terasa permanen. Tujuh puluh delapan tahun Indonesia sudah merdeka, namun kondisi kemiskinan tetap sama saja. Perpaduan antara kemiskinan dan mahalnya biaya pendidikan menghasilkan rasa pesimis terhadap masa depan Indonesia. Bagaimana mungkin rakyat miskin mampu mendapatkan pendidikan jika biaya kuliah menggunung tinggi dan menjulang langit? Realitas ini seharusnya mengusik pikiran kita. Jangan-jangan karena tingkat pendidikan yang rendah, bukan bonus demografi yang akan kita dapatkan pada 2045, melainkan bonus eksploitasi.
Dalam konteks rendahnya mutu demokrasi, mahalnya biaya pendidikan, dan kemiskinanlah, PARKINDO menyerukan beberapa hal dalam rangka mempertanggungjawabkan kemerdekaan. Pertama, kita harus memperbaiki mutu demokrasi. Tanpa demokrasi, kemerdekaan kita hanya akan berakhirnya pada autokrasi. Aparatus hukum berfungsi untuk menjamin keadilan bagi rakyat jelata, bukan sebagai anjing penjaga harta dan “kehormatan” para penguasa. Kedua, demi menjadikan demokrasi kita lebih bernas, pendidikan harus menjadi utama. Pembukaan UUD 1945 telah mengukir sebuah janji bahwa tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Negara harus memastikan semua warganya mendapat pendidikan setinggi-tingginya. Oleh karena itulah, biaya pendidikan harus ditekan serendah-rendahnya. Bahkan, jika merujuk pada Pembukaan UUD 1945, pendidikan harus gratis bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, tanpa meningkatkan derajat demokrasi dan taraf pendidikan rakyat, bangsa Indonesia selamanya akan menjadi konsumen di atas pentas perekonomian global. Dengan demikian, angka kemiskinan mustahil menurun karena kita hanya akan menjadi objek eksploitasi bangsa-bangsa besar.
Entah bagaimanapun cara mendapatkannya, faktanya adalah kita telah merdeka selama 78 tahun. Kita patut mensyukuri dan merayakannya. Namun, kemerdekaan bukanlah tujuan. Kemerdekaan hanyalah sebuah jembatan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur. Kita memperingati hari kemerdekaan sekali dalam setahun. Tiga ratus enam puluh empat hari lainnya berisi tanggung jawab kita untuk mengisinya. Kita harus memenuhinya dengan cinta kasih dan pelayanan konkret pada sesama. Kemerdekaan akan menjadi sia-sia jika kesengsaraan dan kemiskinan masih merajalela. Usaha memperbaiki demokrasi dan pendidikan murah (bahkan gratis) menjadi sebuah urgensi untuk perbaikan. Jika kemerdekaan adalah jembatan menuju Gedung Indonesia Sempurna, demokrasi dan edukasi adalah fondasi bangunannya.
Selamat memperingati Hari Kemerdekaan!
Merdeka!
#KefasHervinDevanandaSTh
#ParkindoBangkit
#Parkindojaya